Dilahirkan di
Portsmouth, Inggris, 7 Februari 1812, seorang pemuda miskin
bercita-cita menjadi seorang penulis. Namun sepertinya berbagai halangan
muncul menghadang. Situasi dan kondisi hidup yang dijalani tak selalu
menunjang keinginannya.
Bayangkan, untuk bersekolah pun ia tak bisa
bertahan lebih dari 4 tahun. Bahkan ayahnya terpaksa masuk bui karena
tak mampu bayar utang. Getirnya nasib, membuat perutnya akrab dengan
lilitan rasa lapar.
Akhirnya, ia bekerja sebagai buruh kasar yang
bertugas menempelkan label produk minuman botol di sebuah gudang pabrik
yang kotor penuh tikus. Kalau malam ia tidur di loteng seadanya bersama
dengan 2 teman yang sama-sama gembel dari kawasan kumuh London.
Meski
hidup serba susah, bakat menulisnya yang berkobar-kobar tak pernah
padam, bahkan mendorongnya untuk “berkarya”. Dengan sedikit keyakinan
akan kemampuannya, ia mengirim tulisannya yang pertama pada malam hari
agar tak ketahuan orang lain.
Maklum, ia khawatir akan ditertawakan.
Satu per satu karyanya ditolak oleh penerbit. Sampai suatu hari, ia
bersuka cita karena salah satu karangannya diterima, meski tak dibayar
sesen pun. Tapi si editor memberikan pujian.
Pengakuan dan pujian
yang diterimanya itu sedemikian menggetarkan hatinya, sehingga ia keluar
rumah dan berjalan-jalan sendiri sambil meneteskan air mata karena
gembira.
Pengalaman ini ternyata mampu mengubah hidupnya.
Barangkali kalau ia tidak memiliki semangat yang begitu kuat,
kehidupannya pasti sudah terhenti di pabrik kumuh penuh tikus tersebut.
Anda mungkin pernah mendengar kisah pemuda ini. Ya, dialah Charles John
Huffam Dickens, novelis Inggris terkenal.
Karya-karya yang
mengalir dari tangannya begitu banyak dan diakui dunia seperti The Old
Curiosity (1841), A Christmas Carol (1834), A Tale of Two Cities(1859),
Great Expectation (1861). Novel komiknya seperti Oliver Twist dan
Pickwick Paper pun menjadi bacaan bocah-bocah seluruh dunia.
Sumber : Intisari-Online
Tidak ada komentar:
Posting Komentar